Nurul Hakim dan Cinta yang Tak Pernah Selesai
Ta'aruf Kepondokan untuk santri baru Pondok Pesantren Nurul Hakim di Kediri, Lombok Barat, NTB berlangsung Ahad-Sabtu 23-29 Juni 2024 di komplek pondok yang didirikan oleh Bapak TGH. Abdul Karim (alm.) ini. Ada seribuan lebih santri yang mengikuti kegiatan sepekan ini. Baik putra maupun putri. Dari MTs dan Aliyah hingga SMK juga MQNH. Asal mereka beragam, seperti pulau Lombok, Sumbawa, Bali, Jawa, Flores (NTT) dan sebagainya. Walau pun asal mereka berbeda, namun mereka adalah satu tubuh dalam bingkai iman.
Alhamdulillah kegiatan hari ini (Senin, 24/6/2024) lancar dan sepertinya peserta (calon santri) betah dan nyaman mengikuti kegiatan yang berlangsung full setiap hari ini. Itulah ungkapan yang layak saya sampaikan setelah melihat beberapa foto dan video yang dikirim oleh panitia di grup orangtua atau wali calon santri yang mendaftar tahun ini di Nuril Hakim. Mengapa demikian? Hal tersebut terlihat dari wajah mereka atau para santri yang cerah dan benar-benar menikmati kegiatan yang sedang diikuti.
Kita tentu berharap semoga pada hari-hari berikutnya mereka semakin betah dan nyaman sehingga makin cinta pada pondok sebagai modal utama mengarungi kehidupan pondok setelah dinyatakan diterima di pondok atau lulus seleksi. Itu harapan kita semua, terutama sebagai orangtua dari para calon pemberi mahkota untuk orangtuanya masing-masing ini. Kekuatan kita ada pada doa yang terus kita lantunkan kepada Allah di ujung malam setelah shalat malam (Tahajut) dan shalat kala pagi (Dhuha). Mendoakan anak-anak kita juga diri kita dalam satu ruh yang sama: menjadi hamba Allah yang bermanfaat bagi banyak orang.
Intinya, kita harus percaya bahwa para Ustadzah yang membimbing dan menjadi panitia Ta'aruf Kepondokan tahun ini adalah orang-orang pilihan dan dipercaya oleh para pimpinan pondok, mereka sudah berpengalaman, paham psikologi anak dan tau cara praktis agar anak-anak nyaman dan makin cinta pada pondok. Para Ustadzah adalah sosok yang sudah melalui proses panjang kehidupan di pondok. Bukan satu atau dua tahun, tapi belasan bahkan tak sedikit yang sudah puluhan tahun. Jadi, saya sudah bisa membayangkan apa yang mereka lakukan untuk anak-anak kita di pondok saat ini dan nanti.
Satu hal yang penting, kita tetap mendoakan agar anak-anak ikhlas, sabar dan syukur atas berbagai proses yang kini mereka lalui. Itulah modal penting yang harus mereka miliki. Termasuk mendoakan diri kita sendiri agar ikhlas, sabar dan syukur. Sebab ketenangan hati dan pikiran kita berdampak pada ketenangan anak-anak kita saat ini dan nanti kala menempuh kehidupan di pondok. Kesiapan mental kita untuk mengikhlaskan anak-anak kita mengikuti proses awal sebelum kelak mereka benar-benar jadi santri adalah keniscayaan.
Saya termasuk yang sangat optimis dan percaya bahwa materi dan berbagai kegiatan yang sudah direncanakan oleh pondok terutama panitia pada kegiatan yang berlangsung 23-29 Juni 2024 ini sudah sesuai kebutuhan anak-anak kita berdasarkan hasil wawancara saat pendaftaran dan pengalaman kegiatan serupa pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka paham betul materi yang perlu diberikan dan kegiatan apa yang harus diikuti oleh para calon santri. Mereka khatam dan berpengalaman mengurus ribuan santri selama bertahun-tahun.
Sedikit bercerita, sebelum mendaftarkan anak saya Azka Syakira (Azka) ke Nurul Hakim pada Ahad 26 Mei 2024 lalu, setahun sebelumnya tepatnya Mei, Juni dan September 2023 saya sengaja menginap di pondok dan sekitaran pondok Nurul Hakim. Selain karena mendapat undangan mengisi acara bedah buku dan pelatihan kepenulisan, saya juga sengaja tinggal dan menyempatkan untuk berjalan keliling pondok. Saya benar-benar ingin merasakan bagaimana Nurul Hakim sekarang. Ternyata sangat luar biasa. Bukan saja fasilitas yang memanjakan tapi juga proses pembelajaran di asrama sekaligus kelas yang berdampak nyata pada kualitas santri.
Dari pengalaman selama sekian waktu kala itu, saya ceritakan kembali kepada Azka terutama perihal situasi di pondok kala itu. Saya juga menceritakan bagaimana kehidupan di pondok era saya nyantri 1996-2002. Sehingga Azka semakin yakin untuk melanjutkan pendidikan di Nurul Hakim dan siap menerima konsekuensi kehidupan di Nurul Hakim selama enam tahun. Ia sepertinya sudah jatuh cinta pada Nurul Hakim. Bahkan ia buktikan dengan naskah buku baru yang ditulis bareng beberapa alumni, judulnya "Mencintai Nurul Hakim".
Atas dasar itu pula Azka rela meninggalkan Jawa Barat yang dihuni banyak pesantren dan lembaga pendidikan berkelas atau berlabel favorit, demi menikmati sekaligus merasakan kehidupan juga proses pendidikan di Nurul Hakim, tempat saya dulu nyantri. Ia semakin yakin untuk melanjutkan pendidikan di Nurul Hakim ketika beberapa hari setelah mendaftar saya ajak dia untuk berjalan keliling pondok dan menikmati suasana pondok. Rupanya ia sudah terpanah dengan berbagai sarana dan prasarana pondok yang sudah semakin oke punya.
"Ayah, jangan lama-lama di Mataram, kembali saja. Insyaa Allah Azka siap hidup di pondok. Pondoknya adem dan asyik. Nanti Ayah ke pondok kalau liburan saja, insyaa Allah Azka biasa saja," ungkap Azka beberapa hari sebelum saya kembali ke Jawa Barat pekan lalu. Ungkapan itu membuat hati saya semakin tenang dan percaya bahwa inilah pilihan terbaik Azka dan saya juga keluarga besar. Bahwa kesediaan anak untuk menjadi santri adalah anugerah Allah. Sebagai orangtua kita hanya banyak berdoa kepada Allah dan memberi kepercayaan pada pondok untuk mendidik anak-anak kita cara dan proses terbaik.
Selebihnya, melanjutkan pendidikan di pondok adakah sebuah pilihan jenial dan futuristik. Sebab tak sedikit di luar sana yang enggan untuk memilih jalan ini. Ini bukan soal mampu atau tidak mampu secara ekonomi, tapi ini soal hati dan orientasi pendidikan anak-anak kita. Kehidupan di luar pondok yang semakin "brutal" menjadi bahan renungan bagi kita, bahkan materi penyadaran bagi kita betapa melanjutkan pendidikan anak-anak kita ke pondok adalah pilihan sadar, wajar dan relevan. Kuncinya adalah cinta. Kita mencintai diri dan anak kita juga impian atau cita-cita anak-anak kita, bahkan masa depan keluarga kita. Kita ingin menghadirkan generasi baru Indonesia yang berilmu, berkarakter, berintegritas, beradab dan bermanfaat. Itulah tugas sejarah Nurul Hakim kini dan nanti, yaitu melahirkan generasi unggul semacam itu. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Aku, Dia & Cinta"
Komentar
Posting Komentar