Ikhtiar Melanjutkan Pendidikan Anak di Nurul Hakim


Ta'aruf Kepondokan penerimaan santri baru Pondok Pesantren Nurul Hakim (NH) berlangsung 23-29 Juni 2024. Pengumuman kelulusan pun berlangsung hari ini Ahad 29 Juni 2024. Apapun keputusan NH, insyaa Allah kita terima dan itu yang terbaik. NH merupakan salah satu pondok pesantren terbesar di Nusa Tenggara Barat (NTT), dengan santri berasal dari berbagai kota/kabupaten di NTB, NTT dan Bali. Bahkan tak sedikit yang berasal Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Kurikulum pendidikan dan pondok di NH tergolong unik dan menarik bahkan mampu melahirkan santri yang mampu bersaing saat hidup di tengah masyarakat dan berkarir di berbagai profesi. 

Saya sendiri berikhtiar melanjutkan pendidikan anak-anak saya ke NH. Alhamdulillah setelah menempuh berbagai upaya termasuk mendapatkan berbagai informasi mengenai kegiatan dan kehidupan santri di NH, pada 20 Mei 2024 lalu saya dan anak pertama saya Azka Syakira (Azka) yang melanjutkan pendidikan di NH langsung berangkat dari Cirebon menuju Mataram. Setelah sampai di Mataram, pada 25 dan 26 Mei 2024 saya langsung mengantar dan mendaftar Azka di NH.


Selain karena keinginan saya, Azka, istri dan keluarga, melanjutkan pendidikan ke NH juga mendapat dukungan dari teman-teman angkatan saya saat nyantri di NH pada 1996-2002 silam. Pertanyaannya, mengapa mesti ke NH, bukan ke yang lain? Pertanyaan ini terlihat sederhana, tapi jawabannya panjang dan banyak. Pertama, NH adalah pondok yang cukup berumur. Dengan demikian, ia tergolong berpengalaman dalam menjalankan proses pendidikan. Usianya kini sudah lebih dari setengah abad. Kita butuh lembaga pendidikan yang berpengalaman dalam menjalankan tugas mulia yaitu melahirkan generasi yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Dan faktanya, NH telah sukses dan akan terus sukses menjalankan peranan tersebut. 

Kedua, pimpinan NH dan pengasuh santri di NH adalah para ulama dan dai yang berpengalaman dan disegani oleh banyak kalangan. TGH. Abdul Karim (alm) adalah pendiri NH. Kepemimpinan beliau dilanjutkan oleh putra beliau Bapak TGH. Safwan Hakim (alm). Kini kepemimpinan di NH dilanjutkan oleh Bapak TGH. Muharrar Mahfudz, TGH. Muzakar Idris, TGH. Nawawi Hakim. Di samping itu, beberapa Tuan Guru dan Ustadz-Ustadzah senior, juga generasi muda yang rerata alumni NH. Semuanya berpengalaman dan sukses dalam menjalankan proses pendidikan santri selama ini. 


Ketiga, kurikulum dan kultur NH yang unik. NH dikenal sebagai pondok salaf yang akrab dengan kitab kuning. Namun NH mampu memadukannya dengan kurikulum nasional. Kemampuan NH dalam memadukan kurikulum membuat para santri mampu bersaing dan berkompetisi di luar, dengan lembaga pendidikan lainnya. NH juga memiliki kultur yang khas, misalnya, soliditas alumni dan kekeluargaan alumni dengan pondok. Setelah lulus dari NH, para alumni selalu merasa terikat dengan pondok. Hubungan emosional yang sangat kental menjadikan NH dikenal oleh banyak kalangan. Sehingga tak sedikit alumni yang melanjutkan pendidikan anaknya ke NH lagi.  

Keempat, alumni NH dikenal sukses dan mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Alumni NH melanjutkan pendidikan di berbagai pendidikan tinggi, dalam dan luar negeri. Tak sedikit yang mendirikan pondok pesantren dan lembaga pendidikan non pondok pesantren, mengajar atau menjadi guru dan dosen di berbagai lembaga pendidikan di dalam maupun di luar negeri, berkarir di berbagai profesi, lembaga sosial, dan sebagainya. Tak sedikit yang menjadi rujukan masyarakat dalam banyak tema dan isu. Bahkan tak sedikit yang menjadi pengusaha sukses, penulis, politisi, dan dai kondang. 


Sebetulnya masih banyak alasan lain yang bisa diungkap, namun tulisan ini belum cukup menampung semuanya. Saya percaya para alumni NH mampu menyebut atau mengungkap semua keunggulan NH selama ini dalam bentuk tulisan atau yang lainnya. Bagi saya, melanjutkan pendidikan ke NH adalah pilihan sadar, rasional dan futuristik. Anak-anak saya pun, yang kini diawali oleh Azka, menjadikan NH sebagai lembaga pendidikan yang diminati dan disukai. Ikhtiar ini memang butuh keikhlasan dan kerelaan, terutama karena saya dan keluarga kecil berdomisili di Jawa Barat, sementara Azka di NH. Sungguh, bila ikhtiarnya Lillah maka apapun bisa dilalui dengan tenang, riang dan gembira. Terima kasih NH! (*)

* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merindui Nurul Hakim" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah